Kesusastraan Indonesia dan Kebimbangan
Tetapi kebudayaan lama itu bukanlah sesuatu yang perlu dilap-lap. Dalam kenyataannya ia hidup utuh, setidaknya nampak seperti seorang raksasa yang tidur. Angkatan 45 gagal melihat kebangkitannya kembali yang tak kentara.PARA sastrawan Indonesia kini bukanlah ahli waris kebudayaan dunia. Kelompok avant-garde tahun 40-an, Angkatan 45, memang menganggap diri demikian. Tapi mereka sebenarnya ahli waris dari lingkungan kebudayaan yang belum sudah, yang bernama Indonesia, berada di antara masa silam yang menjauh dan masa depan yang belum pasti.
Dalam titik ini, kesusastraan Indonesia mewakili keraguan dan kebimbangan—yang kadang terdengar seperti kata lain dari pencarian. Hidup, apa pun jadinya, tidak lagi merupakan lingkaran tertutup. Sekalipun tidak seterbuka sebagaimana-nampaknya.
Sampai tingkat tertentu, ini memang merupakan pilihan yang merepotkan. Apa yang berlanjut dari situasi ini ialah beberapa bentuk pertikaian batin yang tak kunjung usai, di hadapan alternatif-alternatif sejarah: memilih salah satu sama halnya dengan memungut kans untuk menerobos ambang yang tak diketahui.
Boleh dikata, kesusastraan Indonesia dimulai dengan protes.
Tema novel-novel yang menonjol yang ditulis pada tahun 20-an kebanyakan memperlihatkan kepada pembaca kesulitan berlakunya adat, pola-pola hidup tradisional. Ketika Marah Rusli menulis Sitti Nurbaja (terbit 1922), konon, demikianlah ditafsirkan, ambisinya yang terutama bukanlah ingin menjadi novelis; ia hanya tak dapat menemukan jalan lain untuk memprotes tradisionalisme “yang tidak sehat” pada zamannya.
Sekalipun begitu, enam tahun kemudian, sebuah karya penting lain, Salah Asuhan, yang ditulis oleh Abdul Muis, mengingatkan bahwa pemberontakan sedemikian barangkali tak akan membawa apa-apa kecuali malapetaka. Pendidikan dan adat kebiasaan Barat dari si tokoh, penolakannya untuk menerima kerangka hidup kebudayaan bumiputra, merusak keharmonisan kehidupan keluarga. Hanafi, tokoh tersebut, meninggal dengan penyesalan yang tipikal. [1]
Begitulah kebimbangan kita. Perdebatan terkenal pada akhir tahun 30-an, yang dikemukakan para pengarang Indonesia dan kaum intelektual lain, juga merupakan contoh yang baik. Perdebatan yang dihimpun dengan kata pengantar oleh Achdiat Kartamihardja dalam buku Polemik Kebudayaan (1954) itu berlangsung antara mereka yang mengambil inspirasi Barat dan mereka yang enggan menerimanya sebagai Mekkah baru.
Dalam sejarahnya, kesusastraan Indonesia memang mencerminkan pengembaraan dan ketidaktetapan kita, karena tetap tinggal dua dunia impian dan kepercayaan, dan perselisihan, mungkin juga dialog, yang berulang-ulang antara mereka.
Itulah alasan yang menjelaskan masalah yang kita hadapi adakah seorang pengarang perlu menanggungkan rasa bersalah seperti anak hilang dari komunitasnya, atau haruskah ia memulihkan kembali keharmonisan dengan kerabat dan sekitarnya; haruskah ia berhak mengejutkan lingkungannya, dari tidur pastoral, atau mempertahankan sifat idilis dalam melawan gelombang modernitas yang membingungkan?
Kesusastraan Indonesia kontemporer tak mau menyiratkan bawah-sadar suatu masyarakat masa transisi tempat ia tumbuh. Keadaannya bagaikan bayi dalam saat-saat yang sulit selama proses kelahiran: bagian bawah tubuh masih berada dalam rahim ibunya, tapi pada saat itu pula kepalanya telah berada di dunia luar.
Terdapat memang suatu masa, ketika kebimbangan kelihatannya tidak terasa lagi, yaitu dalam kehidupan dan karya-karya Chairil Anwar (1922-1949). Ia, tak pelak lagi, merupakan tokoh yang paling penuh warna dari generasinya, tampil mengejutkan di depan puing-puing suram dunia kolonial dan pemandangan bersahaja dari udik negerinya.
“Kita, anak dari masa lain,” serunya dalam salah satu pidatonya. “Pengetahuan dan teknik zaman ini tinggi sudah.” Beringin keramat yang hingga kini tidak boleh didekati, menurut Chairil, pada suatu saat, akan dipanjat, dan akan dipotong cabang-cabangnya yang merindang-merimbun tak perlu. “Aku berani memasuki rumah suci hingga ruang tengah,” katanya lagi.
Itulah penjelasan bagi seluruh pemberontakannya: suatu postur modern total. Puisinya, yang kebanyakan ditulis di Jakarta, memproyeksikan, ke dalam sederetan kata-kata yang intens, keresahan seorang individualis kota besar—sesuatu yang sangat jauh dari nada santai lingkungannya.
Saya ragu adakah ia sadar tentang kontradiksi ini: betapa pun juga, sebenarnya ia merupakan hasil yang penuh gairah dari pertemuan rohani dengan dunia cendekiawan metropolis, yang diwakili oleh para pengarang Eropa dan Amerika, sedangkan lingkungannya yang terdekat adalah tipikal kehidupan kampung.
Dalam kata-kata Sitor Situmorang, penyair penting lain dari generasinya yang kemudian menjadi seorang nasionalis yang bersemangat: “……kenyataan tetap tunggal bahwa akhirnya daerah puisi Chairil Anwar itu, yang kosmopolitis dan individualistis berada di tengah-tengah daerah-daerah luas yang asing dari padanya.” [2]
Tak mengherankan, kritik-kritik pun ditembakkan kepadanya kemudian: seluruh karyanya merupakan pencarian seorang individualis yang tak punya lindungan, pelopor yang seolah-olah tak bersejarah, yang mengejutkan latar kebudayaan tradisional dari mayoritas di sekitar diri dan kelompoknya.
Angkatan 45 dan khususnya Chairil Anwar, dengan meneriakkan kata-kata yang menghujat surga dan menggedor kesusilaan yang lazim, agaknya terpukau oleh cakrawala cerah tahun-tahun baru kemerdekaan, dan abai untuk menghiraukan kekuatan nyata dari unsur-unsur tradisional dalam masyarakat.
Dalam Surat Kepercayaan Gelanggang, mereka mengumumkan: “Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia…. Kalau kami berbicara tentang kebudayaan Indonesia, kami tidak ingat kepada melap-lap hasil kebudayaan lama sampai berkilat dan untuk dibanggakan, tetapi kami memikirkan suatu penghidupan kebudayaan baru yang sehat…. Revolusi bagi kami ialah penempatan nilai-nilai baru atas nilai-nilai usang yang harus dihancurkan.”
Tetapi kebudayaan lama itu bukanlah sesuatu yang perlu dilap-lap. Dalam kenyataannya ia hidup utuh, setidaknya nampak seperti seorang raksasa yang tidur. Angkatan 45 gagal melihat kebangkitannya kembali yang tak kentara.
Kurang dari tujuh tahun setelah Chairil Anwar mati muda dengan penyakit yang hinggap dari jalanan, pemberontakannya berangsur-angsur dipertanyakan. Pengarang-pengarang lain muncul, dan tahun 50-an praktis menjadi zaman post-Chairil. Juru bicara kelompok pengarang yang menyatakan mewakili zaman ini adalah Ajip Rosidi (lahir di tahun 1938), yang kumpulan sajaknya yang pertama, Ketemu di Djalan (diterbitkan dengan karya dua penyair lainnya) terbit tahun 1956.
Dalam pidato yang disampaikannya di sebuah simposium sastra mahasiswa di Jakarta tahun 1960, ia memaklumkan lahirnya “Angkatan Terbaru Sastrawan Indonesia”, yang mengecam Chairil Anwar dan teman-teman semasanya.
“Secara rohaniah,” tulis Ajip, “tanah air mereka adalah Belanda dan Eropa.” Sedang generasinya sendiri, kata Ajip, merupakan hasil “pertumbuhan yang, wajar dan berakar di bumi tanah air.” [3]
Tentunya di sini terdapat sedikit hal yang agak dilebih-lebihkan, untuk mendapatkan kontras. Tetapi yang paling penting adalah semangat di belakang pernyataan ini. Setelah zaman bergelora dan kontroversial yang pendek yang diberi ciri oleh Chairil Anwar, bandul kelihatan berayun kembali sekali lagi ke arah lain. Ketimbang meretakkan keharmonisan antara mereka sendiri dengan kehidupan bersama di sekeliling mereka, dan merasa perlu meraba kembali akar untuk tak tercerabut, pengarang tahun 50-an cenderung menulis karya-karyanya di atas “bumi sendiri.”
Demikianlah ketenangan meraja, dan ide pemberontakan merupakan sesuatu yang tak galib. Zaman itu penyair-penyair muda Indonesia menulis pastoral yang hangat, keindahan legenda dan permainan anak-anak, serta balada romantis yang diterbitkan oleh berkala seperti Kisah, Seni (keduanya di Jakarta) dan Budaja (di Yogya). Sebuah buku puisi yang tipikal buat tahun 50-an antara lain adalah Priangan si Djelita, sebuah nyanyian cinta dan pemujaan kepada tanah tumpah darah sang penyair. Pengarang dari karya yang penuh getar muda ini adalah Ramadhan K.H., penerjemah puisi dan lakon Federico Garcia Lorca.
Lainnya adalah Balada Orang-orang Tertjinta oleh W.S. Rendra. Warna-warninya dalam banyak hal memberi kesan diangkat dari alam sekitar di daerah, dan tokoh-tokoh yang mirip legenda.
Perlu disebutkan pula di sini Romansa Perdjalanan oleh Kirdjomuljo. Kumpulan sajak ini, meskipun kurang berhasil ditinjau dari segi sastra, masih termasuk salah satu contoh kesusastraan Indonesia tahun 50-an. Setidak-tidaknya, suatu pencerminan dari perasaan yang terdapat di mana-mana pada zaman itu.
Corak umum dari karya-karya ini sangat berbeda dengan karya-karya kelompok avant-garde tahun 40-an: ungkapannya lebih manis, temanya kurang bersifat polemis, dan tentunya lebih diperindah dengan corak atau warna lokal. Individualitas nampak dalam siluet. Dengan mudah dapat diraba, suatu keinginan yang tersirat untuk mendapatkan kembali surga—sejenis kerinduan untuk balik kembali ke rahim Ibu Bumi, sang Pertiwi.
Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa kita di sini menemui suatu gerakan kesusastraan yang secara sadar sepenuhnya berorientasi kepada sifat kebangsaan. Apa yang sedang saya coba tunjukkan adalah salah satu gejala yang paling berarti dari tahun 50-an: masalah keseorangan nampaknya semakin kurang relevan dalam pembicaraan kesusastraan: kualitas kenasionalan merupakan hal pertama yang penting dibicarakan. Jelas, ada secercah sikap nasionalistis di sini, terkadang dengan sentuhan perasaan kedaerahan.
Dan itu wajar saja. Pernyataan kelahiran yang dikemukakan Ajip Rosidi di atas, hanyalah satu contoh dari ciri suatu semangat zaman yang tersembunyi, yang nampak juga dalam kegiatan-kegiatan lain, misalnya dalam hal pencarian suatu identitas nasional yang lebih terumuskan. Kemerdekaan saja nampaknya tidak cukup, tidak sekadar pengertian bebas dari penjajahan pra-1945. Semangat ini, sebagai nampak dalam perkembangan selanjutnya, mencapai kepesatannya pada tahun-tahun “pemerintahan revolusioner” Presiden Soekarno: 1958-1966.
Zaman Soekarno bukanlah zaman kesusastraan yang didikte, setidak-tidaknya pada permulaan periode itu. Ada pendapat yang dalam membicarakan masa pemerintahan “demokrasi terpimpin” itu seringkali mengesankannya sebagai pemerintahan yang bertipe totaliter lengkap, suatu impian buruk novel George Orwell, 1984. Memang, kebebasan berbeda pendapat semakin terbatas, setidaknya jauh berkurang dari beberapa belas tahun setelah proklamasi kemerdekaan.
Tetapi sampai derajat tertentu perbedaan pendapat toh tetap ada—meskipun ini lebih disebabkan oleh kenyataan bahwa perbedaan pendapat itu tidak dapat dihindarkan, ketimbang oleh suatu filsafat kekuasaan yang sengaja membiarkan perbedaan itu. Dalam situasi seperti itu yang tak cukup kita miliki ialah suatu sistem modern untuk mengelola konflik-konflik pendapat tadi.
Dalam hal seperti itulah, zaman Soekarno bisa menimbulkan sebuah kenangan yang gamblang tentang sejenis pemerintahan gaya kerajaan lama, bersifat otoriter tetapi tidak rnengembangkan alat pengawasan politik yang efisien dan tuntas. Jika ditilik kembali, masa itu dapat nampak sebagai semacam kelahiran baru dari beberapa nilai sosial tradisional, dengan aksen Jawa. Kata-kata besar pada zaman itu, seperti “Kembali kepada kepribadian Indonesia” dan “Kebudayaan nasional” menggambarkan perasaan utama periode tersebut.
Sekalipun demikian, tak ada blueprint yang jelas tentang bagaimana kebudayaan nasional Indonesia akan dibangun, sesuatu yang umumnya harus diharapkan dari suatu ideologi negara yang revolusioner. Hal ini telah mengakibatkan timbulnya perdebatan yang riuh di antara beberapa kelompok, yang akan saya bahas nanti.
Soekarno sendiri bukanlah seorang pemikir yang sistematis, dan ternyata tidak mempunyai ide yang jelas mengenai apa yang harus dilakukan sepanjang menyangkut masalah-masalah kebudayaan. Tetapi setidak-tidaknya ia telah berhasil mengobarkan suatu perasaan dan menanamkan suatu kebiasaan—perasaan persatuan dan kebiasaan untuk mengalihkan segala sesuatu kepada ideologi.
Mulai saat itu, terjadi pemudaran individualitas, setidaknya sebagai issue, dalam ekspresi seni dan sastra. Cuaca kehidupan politik mencegah para sastrawan untuk berbicara mengenai perasaan dan masalah-masalah diri yang intim: untuk hal-hal semacam itu kita melakukan penyensoran terhadap diri sendiri.
Maka periode itu pun merupakan periode yang penuh dengan percakapan hal-hal besar dan kata-kata abstrak dalam sajak. Tema-tema yang berkenaan dengan masalah cinta, seks, kesepian dan absurditas kematian kurang dianggap patut.
Tapi itulah semangat yang merangsang tahun-tahun pertama 60-an. Sesungguhnya, ideologi negara, yang dikodifikasikan dari pidato-pidato Soekarno itu, mempunyai daya tarik sejati bagi orang banyak. Tentu saja ideologi itu sendiri tidak lengkap; bahkan mungkin di beberapa bagian tidak jelas benar. Meskipun demikian, seperti dikatakan dengan kena oleh Herbert Feith tentang periode ini, tanggapan umum terhadap ideologi tersebut pada masa itu ialah, bahwa “ini mungkin bukan suatu ideologi yang sangat baik dan lengkap, tetapi suatu ideologi merupakan hal yang kita butuhkan.” [4]
Tidaklah mengherankan, bahwa ideologi yang begitu terdengar revolosioner, tetapi sekaligus tak lengkap, rela —atau terpaksa—membuka kesempatan untuk mendapatkan dukungan dari komunisme, khususnya bila ideologi itu harus berbicara mengenai kebudayaan. Di antara kekuatan politik yang ada, hanya orang-orang komunislah dewasa ini yang menaruh perhatian yang serius pada masalah-masalah kebudayaan.
Alasannya sangat sederhana, seperti ditunjukkan oleh George Steiner: Marxisme-Leninisme dan rezim politik yang memainkan peranan atas nama ideologi tersebut menanggapi perkara kesusastraan (dan karya-karya seni lainnya) secara serius, bahkan secara berlebihan serius. Mereka mempunyai tradisi kesusastraan dan kritik tersendiri, sebagai bagian dari sejarah revolusi mereka. Dan sebagian untuk memenuhi kebutuhan terhimpunnya “front persatuan nasional”, dan sebagian lagi untuk memperoleh bantuan dari kaum cendekiawan, Partai Komunis Indonesia mendirikan organisasi kebudayaan LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakyat) dan sebuah badan penerbitan yang aktif.
SUMBER :
http://goenawanmohamad.com/esei/kesusastraan-indonesia-dan-kebimbangan-1.html