Jumat, 29 Juni 2012

TULISAN : MANUSIA DAN KESUSTRAAN INDONESIA


Kesusastraan Indonesia dan Kebimbangan

Tetapi kebudayaan lama itu bukanlah sesuatu yang perlu dilap-lap. Dalam kenyataannya ia hidup utuh, setidaknya nampak seperti seorang raksasa yang tidur. Angkatan 45 gagal melihat kebangkitannya kembali yang tak kentara.
PARA sastrawan Indonesia kini bukanlah ahli waris kebudayaan dunia. Kelompok avant-garde tahun 40-an, Angkatan 45, memang menganggap diri demikian. Tapi mereka sebenarnya ahli waris dari lingkungan kebudayaan yang belum sudah, yang bernama Indonesia, berada di antara masa silam yang menjauh dan masa depan yang belum pasti.
Dalam titik ini, kesusastraan Indonesia mewakili keraguan dan kebimbangan—yang kadang terdengar seperti kata lain dari pencarian. Hidup, apa pun jadinya, tidak lagi merupakan lingkaran tertutup. Sekalipun tidak seterbuka sebagaimana-nampaknya.
Sampai tingkat tertentu, ini memang merupakan pilihan yang merepotkan. Apa yang berlanjut dari situasi ini ialah beberapa bentuk pertikaian batin yang tak kunjung usai, di hadapan alternatif-alternatif sejarah: memilih salah satu sama halnya dengan memungut kans untuk menerobos ambang yang tak diketahui.
Boleh dikata, kesusastraan Indonesia dimulai dengan protes.
Tema novel-novel yang menonjol yang ditulis pada tahun 20-an kebanyakan memperlihatkan kepada pembaca kesulitan berlakunya adat, pola-pola hidup tradisional. Ketika Marah Rusli menulis Sitti Nurbaja (terbit 1922), konon, demikianlah ditafsirkan, ambisinya yang terutama bukanlah ingin menjadi novelis; ia hanya tak dapat menemukan jalan lain untuk memprotes tradisionalisme “yang tidak sehat” pada zamannya.
Sekalipun begitu, enam tahun kemudian, sebuah karya penting lain, Salah Asuhan, yang ditulis oleh Abdul Muis, mengingatkan bahwa pemberontakan sedemikian barangkali tak akan membawa apa-apa kecuali malapetaka. Pendidikan dan adat kebiasaan Barat dari si tokoh, penolakannya untuk menerima kerangka hidup kebudayaan bumiputra, merusak keharmonisan kehidupan keluarga. Hanafi, tokoh tersebut, meninggal dengan penyesalan yang tipikal. [1]
Begitulah kebimbangan kita. Perdebatan terkenal pada akhir tahun 30-an, yang dikemukakan para pengarang Indonesia dan kaum intelektual lain, juga merupakan contoh yang baik. Perdebatan yang dihimpun dengan kata pengantar oleh Achdiat Kartamihardja dalam buku Polemik Kebudayaan (1954) itu berlangsung antara mereka yang mengambil inspirasi Barat dan mereka yang enggan menerimanya sebagai Mekkah baru.
Dalam sejarahnya, kesusastraan Indonesia memang mencerminkan pengembaraan dan ketidaktetapan kita, karena tetap tinggal dua dunia impian dan kepercayaan, dan perselisihan, mungkin juga dialog, yang berulang-ulang antara mereka.
Itulah alasan yang menjelaskan masalah yang kita hadapi adakah seorang pengarang perlu menanggungkan rasa bersalah seperti anak hilang dari komunitasnya, atau haruskah ia memulihkan kembali keharmonisan dengan kerabat dan sekitarnya; haruskah ia berhak mengejutkan lingkungannya, dari tidur pastoral, atau mempertahankan sifat idilis dalam melawan gelombang modernitas yang membingungkan?
Kesusastraan Indonesia kontemporer tak mau menyiratkan bawah-sadar suatu masyarakat masa transisi tempat ia tumbuh. Keadaannya bagaikan bayi dalam saat-saat yang sulit selama proses kelahiran: bagian bawah tubuh masih berada dalam rahim ibunya, tapi pada saat itu pula kepalanya telah berada di dunia luar.
Terdapat memang suatu masa, ketika kebimbangan kelihatannya tidak terasa lagi, yaitu dalam kehidupan dan karya-karya Chairil Anwar (1922-1949). Ia, tak pelak lagi, merupakan tokoh yang paling penuh warna dari generasinya, tampil mengejutkan di depan puing-puing suram dunia kolonial dan pemandangan bersahaja dari udik negerinya.
“Kita, anak dari masa lain,” serunya dalam salah satu pidatonya. “Pengetahuan dan teknik zaman ini tinggi sudah.” Beringin keramat yang hingga kini tidak boleh didekati, menurut Chairil, pada suatu saat, akan dipanjat, dan akan dipotong cabang-cabangnya yang merindang-merimbun tak perlu. “Aku berani memasuki rumah suci hingga ruang tengah,” katanya lagi.
Itulah penjelasan bagi seluruh pemberontakannya: suatu postur modern total. Puisinya, yang kebanyakan ditulis di Jakarta, memproyeksikan, ke dalam sederetan kata-kata yang intens, keresahan seorang individualis kota besar—sesuatu yang sangat jauh dari nada santai lingkungannya.
Saya ragu adakah ia sadar tentang kontradiksi ini: betapa pun juga, sebenarnya ia merupakan hasil yang penuh gairah dari pertemuan rohani dengan dunia cendekiawan metropolis, yang diwakili oleh para pengarang Eropa dan Amerika, sedangkan lingkungannya yang terdekat adalah tipikal kehidupan kampung.
Dalam kata-kata Sitor Situmorang, penyair penting lain dari generasinya yang kemudian menjadi seorang nasionalis yang bersemangat: “……kenyataan tetap tunggal bahwa akhirnya daerah puisi Chairil Anwar itu, yang kosmopolitis dan individualistis berada di tengah-tengah daerah-daerah luas yang asing dari padanya.” [2]
Tak mengherankan, kritik-kritik pun ditembakkan kepadanya kemudian: seluruh karyanya merupakan pencarian seorang individualis yang tak punya lindungan, pelopor yang seolah-olah tak bersejarah, yang mengejutkan latar kebudayaan tradisional dari mayoritas di sekitar diri dan kelompoknya.
Angkatan 45 dan khususnya Chairil Anwar, dengan meneriakkan kata-kata yang menghujat surga dan menggedor kesusilaan yang lazim, agaknya terpukau oleh cakrawala cerah tahun-tahun baru kemerdekaan, dan abai untuk menghiraukan kekuatan nyata dari unsur-unsur tradisional dalam masyarakat.
Dalam Surat Kepercayaan Gelanggang, mereka mengumumkan: “Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia…. Kalau kami berbicara tentang kebudayaan Indonesia, kami tidak ingat kepada melap-lap hasil kebudayaan lama sampai berkilat dan untuk dibanggakan, tetapi kami memikirkan suatu penghidupan kebudayaan baru yang sehat…. Revolusi bagi kami ialah penempatan nilai-nilai baru atas nilai-nilai usang yang harus dihancurkan.”
Tetapi kebudayaan lama itu bukanlah sesuatu yang perlu dilap-lap. Dalam kenyataannya ia hidup utuh, setidaknya nampak seperti seorang raksasa yang tidur. Angkatan 45 gagal melihat kebangkitannya kembali yang tak kentara.
Kurang dari tujuh tahun setelah Chairil Anwar mati muda dengan penyakit yang hinggap dari jalanan, pemberontakannya berangsur-angsur dipertanyakan. Pengarang-pengarang lain muncul, dan tahun 50-an praktis menjadi zaman post-Chairil. Juru bicara kelompok pengarang yang menyatakan mewakili zaman ini adalah Ajip Rosidi (lahir di tahun 1938), yang kumpulan sajaknya yang pertama, Ketemu di Djalan (diterbitkan dengan karya dua penyair lainnya) terbit tahun 1956.
Dalam pidato yang disampaikannya di sebuah simposium sastra mahasiswa di Jakarta tahun 1960, ia memaklumkan lahirnya “Angkatan Terbaru Sastrawan Indonesia”, yang mengecam Chairil Anwar dan teman-teman semasanya.
“Secara rohaniah,” tulis Ajip, “tanah air mereka adalah Belanda dan Eropa.” Sedang generasinya sendiri, kata Ajip, merupakan hasil “pertumbuhan yang, wajar dan berakar di bumi tanah air.” [3]
Tentunya di sini terdapat sedikit hal yang agak dilebih-lebihkan, untuk mendapatkan kontras. Tetapi yang paling penting adalah semangat di belakang pernyataan ini. Setelah zaman bergelora dan kontroversial yang pendek yang diberi ciri oleh Chairil Anwar, bandul kelihatan berayun kembali sekali lagi ke arah lain. Ketimbang meretakkan keharmonisan antara mereka sendiri dengan kehidupan bersama di sekeliling mereka, dan merasa perlu meraba kembali akar untuk tak tercerabut, pengarang tahun 50-an cenderung menulis karya-karyanya di atas “bumi sendiri.”
Demikianlah ketenangan meraja, dan ide pemberontakan merupakan sesuatu yang tak galib. Zaman itu penyair-penyair muda Indonesia menulis pastoral yang hangat, keindahan legenda dan permainan anak-anak, serta balada romantis yang diterbitkan oleh berkala seperti Kisah, Seni (keduanya di Jakarta) dan Budaja (di Yogya). Sebuah buku puisi yang tipikal buat tahun 50-an antara lain adalah Priangan si Djelita, sebuah nyanyian cinta dan pemujaan kepada tanah tumpah darah sang penyair. Pengarang dari karya yang penuh getar muda ini adalah Ramadhan K.H., penerjemah puisi dan lakon Federico Garcia Lorca.
Lainnya adalah Balada Orang-orang Tertjinta oleh W.S. Rendra. Warna-warninya dalam banyak hal memberi kesan diangkat dari alam sekitar di daerah, dan tokoh-tokoh yang mirip legenda.
Perlu disebutkan pula di sini Romansa Perdjalanan oleh Kirdjomuljo. Kumpulan sajak ini, meskipun kurang berhasil ditinjau dari segi sastra, masih termasuk salah satu contoh kesusastraan Indonesia tahun 50-an. Setidak-tidaknya, suatu pencerminan dari perasaan yang terdapat di mana-mana pada zaman itu.
Corak umum dari karya-karya ini sangat berbeda dengan karya-karya kelompok avant-garde tahun 40-an: ungkapannya lebih manis, temanya kurang bersifat polemis, dan tentunya lebih diperindah dengan corak atau warna lokal. Individualitas nampak dalam siluet. Dengan mudah dapat diraba, suatu keinginan yang tersirat untuk mendapatkan kembali surga—sejenis kerinduan untuk balik kembali ke rahim Ibu Bumi, sang Pertiwi.
Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa kita di sini menemui suatu gerakan kesusastraan yang secara sadar sepenuhnya berorientasi kepada sifat kebangsaan. Apa yang sedang saya coba tunjukkan adalah salah satu gejala yang paling berarti dari tahun 50-an: masalah keseorangan nampaknya semakin kurang relevan dalam pembicaraan kesusastraan: kualitas kenasionalan merupakan hal pertama yang penting dibicarakan. Jelas, ada secercah sikap nasionalistis di sini, terkadang dengan sentuhan perasaan kedaerahan.
Dan itu wajar saja. Pernyataan kelahiran yang dikemukakan Ajip Rosidi di atas, hanyalah satu contoh dari ciri suatu semangat zaman yang tersembunyi, yang nampak juga dalam kegiatan-kegiatan lain, misalnya dalam hal pencarian suatu identitas nasional yang lebih terumuskan. Kemerdekaan saja nampaknya tidak cukup, tidak sekadar pengertian bebas dari penjajahan pra-1945. Semangat ini, sebagai nampak dalam perkembangan selanjutnya, mencapai kepesatannya pada tahun-tahun “pemerintahan revolusioner” Presiden Soekarno: 1958-1966.
Zaman Soekarno bukanlah zaman kesusastraan yang didikte, setidak-tidaknya pada permulaan periode itu. Ada pendapat yang dalam membicarakan masa pemerintahan “demokrasi terpimpin” itu seringkali mengesankannya sebagai pemerintahan yang bertipe totaliter lengkap, suatu impian buruk novel George Orwell, 1984. Memang, kebebasan berbeda pendapat semakin terbatas, setidaknya jauh berkurang dari beberapa belas tahun setelah proklamasi kemerdekaan.
Tetapi sampai derajat tertentu perbedaan pendapat toh tetap ada—meskipun ini lebih disebabkan oleh kenyataan bahwa perbedaan pendapat itu tidak dapat dihindarkan, ketimbang oleh suatu filsafat kekuasaan yang sengaja membiarkan perbedaan itu. Dalam situasi seperti itu yang tak cukup kita miliki ialah suatu sistem modern untuk mengelola konflik-konflik pendapat tadi.
Dalam hal seperti itulah, zaman Soekarno bisa menimbulkan sebuah kenangan yang gamblang tentang sejenis pemerintahan gaya kerajaan lama, bersifat otoriter tetapi tidak rnengembangkan alat pengawasan politik yang efisien dan tuntas. Jika ditilik kembali, masa itu dapat nampak sebagai semacam kelahiran baru dari beberapa nilai sosial tradisional, dengan aksen Jawa. Kata-kata besar pada zaman itu, seperti “Kembali kepada kepribadian Indonesia” dan “Kebudayaan nasional” menggambarkan perasaan utama periode tersebut.
Sekalipun demikian, tak ada blueprint yang jelas tentang bagaimana kebudayaan nasional Indonesia akan dibangun, sesuatu yang umumnya harus diharapkan dari suatu ideologi negara yang revolusioner. Hal ini telah mengakibatkan timbulnya perdebatan yang riuh di antara beberapa kelompok, yang akan saya bahas nanti.
Soekarno sendiri bukanlah seorang pemikir yang sistematis, dan ternyata tidak mempunyai ide yang jelas mengenai apa yang harus dilakukan sepanjang menyangkut masalah-masalah kebudayaan. Tetapi setidak-tidaknya ia telah berhasil mengobarkan suatu perasaan dan menanamkan suatu kebiasaan—perasaan persatuan dan kebiasaan untuk mengalihkan segala sesuatu kepada ideologi.
Mulai saat itu, terjadi pemudaran individualitas, setidaknya sebagai issue, dalam ekspresi seni dan sastra. Cuaca kehidupan politik mencegah para sastrawan untuk berbicara mengenai perasaan dan masalah-masalah diri yang intim: untuk hal-hal semacam itu kita melakukan penyensoran terhadap diri sendiri.
Maka periode itu pun merupakan periode yang penuh dengan percakapan hal-hal besar dan kata-kata abstrak dalam sajak. Tema-tema yang berkenaan dengan masalah cinta, seks, kesepian dan absurditas kematian kurang dianggap patut.
Tapi itulah semangat yang merangsang tahun-tahun pertama 60-an. Sesungguhnya, ideologi negara, yang dikodifikasikan dari pidato-pidato Soekarno itu, mempunyai daya tarik sejati bagi orang banyak. Tentu saja ideologi itu sendiri tidak lengkap; bahkan mungkin di beberapa bagian tidak jelas benar. Meskipun demikian, seperti dikatakan dengan kena oleh Herbert Feith tentang periode ini, tanggapan umum terhadap ideologi tersebut pada masa itu ialah, bahwa “ini mungkin bukan suatu ideologi yang sangat baik dan lengkap, tetapi suatu ideologi merupakan hal yang kita butuhkan.” [4]
Tidaklah mengherankan, bahwa ideologi yang begitu terdengar revolosioner, tetapi sekaligus tak lengkap, rela —atau terpaksa—membuka kesempatan untuk mendapatkan dukungan dari komunisme, khususnya bila ideologi itu harus berbicara mengenai kebudayaan. Di antara kekuatan politik yang ada, hanya orang-orang komunislah dewasa ini yang menaruh perhatian yang serius pada masalah-masalah kebudayaan.
Alasannya sangat sederhana, seperti ditunjukkan oleh George Steiner: Marxisme-Leninisme dan rezim politik yang memainkan peranan atas nama ideologi tersebut menanggapi perkara kesusastraan (dan karya-karya seni lainnya) secara serius, bahkan secara berlebihan serius. Mereka mempunyai tradisi kesusastraan dan kritik tersendiri, sebagai bagian dari sejarah revolusi mereka. Dan sebagian untuk memenuhi kebutuhan terhimpunnya “front persatuan nasional”, dan sebagian lagi untuk memperoleh bantuan dari kaum cendekiawan, Partai Komunis Indonesia mendirikan organisasi kebudayaan LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakyat) dan sebuah badan penerbitan yang aktif.
  SUMBER : http://goenawanmohamad.com/esei/kesusastraan-indonesia-dan-kebimbangan-1.html

TULISAN : MANUSIA DAN KEBUDAYAAN INDONESIA


KEBUDAYAAN INDONESIA
Budaya merupakan suatu kebiasaan yang mengandung nilai – nilai penting dan fundamental yang diwariskan dari generasi ke generasi. Warisan tersebut harus dijaga agar tidak luntur atauhilang sehingga dapat dipelajari dan dilestarikan oleh generasi berikutnya. Budaya secara umum dapat dibagi menjadi dua macam yaitu :
1.      Budaya Daerah adalah suatu kebiasaan dalam wilayah atau daerah tertentu yang diwariskan secara turun temurun oleh generasi terdahulu pada generasi berikutnya pada ruang lingkup daerah tersebut. Budaya daerah ini muncul saat penduduk suatu daerah telah memiliki pola pikir dan kehidupan sosial yang sama sehingga itu menjadi suatu kebiasaan yang membedakan mereka dengan penduduk – penduduk yang lain. Budaya daerah sendiri mulai terlihat berkembang di Indonesia pada zaman kerajaan – kerajaan terdahulu.

2.      Budaya Nasional adalah gabungan dari budaya daerah yang ada di Negara tersebut. Itu dimaksudkan budaya daerah yang mengalami asimilasi dan akulturasi dengan dareah lain di suatu Negara akan terus tumbuh dan berkembang menjadi kebiasaan-kebiasaan dari Negara tersebut. Contohnya Pancasila sebagai dasar negara, Bahasa Indonesia dan Lagu Kebangsaan yang dicetuskan dalam Sumpah Pemuda 12 Oktober 1928 yang diikuti oleh seluruh pemuda berbagai daerah di Indonesia yang membulatkan tekad untuk menyatukan Indonesia dengan menyamakan pola pikir bahwa Indonesia memang berbeda budaya tiap daerahnya tetapi tetap dalam satu kesatuan Indonesia Raya dalam semboyan “bhineka tunggal ika”.
Ada suatu pepatah bijak mengatakan :

“ Cintai budayamu layaknya engkau mencintai ibumu “
”Suatu Negara tidak akan menjadi negara yang besar jika tidak mengetahui jati diri dari budaya negara tersebut”


            Tanpa adanya kebudayaan, suatu Negara tidak dapat mempunyai ciri khas di mata dunia. Namun yang menjadi kegelisahaan para seniman dan tokoh masyarakat yang sudah bergaul dengan kebudayan alami Indonesia adalah tidak adanya pengakuan atau pengukuhan atas berbagai macam suku, budaya, adat dan kekayaan alam Indonesia oleh pemerintah. Apakah mereka malu dan enggan untuk mengurusi hal seperti ini? Mungkinkah bagi mereka yang terlebih penting di tangani adalah urusan politik yang tidak kunjung sembuh .. padahal justru semakin membuat bengkak hati-hati para rakyat Indonesia. Hal ini sebenarnya sudah tidak asing lagi, namun jika di teruskan semakin ironis melihatnyaa. Akan ada berapa banyak lagi kebudayaan yang akan di akui oleh Negara luar, terutama Negara tetangga kita (Malaysia). Sebanarnya tidak hanya Malaysia saja yang akan mengakui kebuayaan Indonesia, tetapi Negara-negara lain pun bisa melakukannya. Jika pertahanan dan hukum untuk melindungi kebudayan tidak di ketatkan.
            Indonesia adalah negara yang banyak memiliki pulau yang disatukan oleh lautan. Indonesia memiliki banyak obat-obatan tradisional, bahkan jika dibandingkan Negeri Gingseng Indonesialah yang paling banyak jenis tumbuhan herbal. Tidak hanya itu saja bahkan para manusia Indonesia pun bisa meneliti dan mengolahnya. Kebudayaan indonesia bukan hanya dari alat music, lagu-lagu dan pakaian saja. Bisa dikatakan semua materi yang Allah SWT berikan di bumi ini dimiliki oleh Indonesia. Antara lain :
1.      Agama yang beraneka ragam
2.      Minyak bumi
3.      Belerang, Emas, Batu bara dll.
4.      Flora & Fauna
5.      Rumah adat
6.      Bahasa daerah
7.      Pakaian tradisional dari tiap-tiap daerah
8.      Alat & jenis music tradisional
9.      Banyaknya pesona alam yang tidak kalah dengan Negara lain (hutan, bukit, lembah, dll)
10.  Berbagai macam ilmu bela diri & tari tradioional, dll.

Dengan banyaknya kebudayaan daerah tersebut akan menjadi sumber kebudayaan nasional yaitu Negara Indonesia. Jika di jelaskan satu-satu kebudayaan, waaah banyak sekaliii. .. silahkan searching di google. Yang jelas 10 poin seperti yang sudah saya tulis di atas salah satu dari aneka ragam Bhineka Tunggal Ika.

Kasus 1

Kebudayaan Nasional Masih Akan Dibentuk


BANDUNG, KOMPAS.com-Wujud kebudayaan nasional Indonesia menjadi polemik utama karena masih akan dibentuk dan belum memiliki kesimpulan yang jelas serta dapat diterima oleh semua pihak. "Wujud kebudayaan nasional Indonesia masih akan dibentuk karena belum ada sebuah kesimpulan yang jelas dan diterima semua pihak," ungkap Sastrawan dan Budayawan Indonesia Ajip Rosidi, di Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran (Unpad) di Jatinangor, Sumedang, Senin.
Ajip yang ditemui dalam acara Peringatan Dies Natalis ke-52 Fakultas Sastra Unpad, mengatakan yang sudah jelas saat ini adalah kebudayaan-kebudayaan daerah, sedangkan kebudayaan nasional belum jelas. Menurut Ajip, pada umumnya ada anggapan negatif tentang kebudayaan daerah, karena dianggap bukan kebudayaan nasional. "Ada anggapan bahwa kebudayaan nasional itu harus berlainan dengan kebudayaan daerah," katanya. Selanjutnya, kata Ajip, ada yang menganggap bahwa gamelan bukanlah musik Indonesia dan yang dianggap musik nasional adalah keroncong.
Ajip mengungkapkan, telah tumbuh anggapan bahwa teater nasional ialah drama dipentaskan seperti drama-drama eropa yang berdasarkan teks tertulis sementara wayang, lenong, longser, dan ketoprak tidak dianggap sebagai teater Indonesia. "Masalah yang dihadapi bangsa Indonesia sekarang masih juga menyuarakan masalah yang sudah dipolemikkan pada waktu itu," katanya. Menurut Ajip, masalah kebudayaan barat dan kebudayaan timur yang menjadi salah satu pokok polemik sekarang sudah tidak begitu dipermasalahkan. Kata Ajip, pada tahun 1970 yang menjadi tema polemik yang ramai ketika itu adalah masalah modernisasi dan westerenisasi, sedangkan sekarang masalah globalisasi lebih menjadi perhatian.


http://wachitnh.blogspot.com/2012/03/kebudayaan-indonesia.html

TULISAN : MANUSIA DAN BERBAGAI CINTA


Menyemat Cinta di Hati Kekasih (Renungan Buat Para Suami)


Ia adalah bagian dari tulang rusukmu. Ia adalah belahan jiwamu. Ia adalah tawanan di tanganmu. Padanya sumber ketenangan, cinta kasih dan ketentraman karena demikanlah Allah menciptakannya untukmu. Ia adalah pakaian bagimu, dan yang terutama dan utama ia adalah amanah yang Allah berikan untukmu. Bagaimanakah engkau memperlakukan amanah itu??
Terlalu banyak wasiat tersebar untuk para istri seakan islam adalah agama yang hanya mengutamakan para suami dan kaum lelaki. Padahal tidaklah demikian,islam membela kaum wanita, memuliakan dan mengangkat derajat mereka. Wanita adalah orang yang di sucikan, ibu para ulama, ibu para panglima, dan ibu para pembesar. Bukankah ia adalah ibu Umar, ibu Anas, ibu Umar bin Abdul Aziz, ibu imam Ahmad, ibu imam Syafii, ibu Shalahudin,ibu Ibnu Taymiyah, ibu Ibnul Qayyim dan yang lainnya??  Untuk para suami risalah ini kutulis sebagai penyejuk hati bagi kaum wanita dan para istri.
Wahai hamba Allah yang bertakwa, berbahagialah dan bersyukur pada-Nya atas nikmat istri yang Allah karuniakan kepadamu. Dengannya terjagalah jiwa dan tubuhmu dari melakukan hal-hal yang diharamkan-Nya.  Ketika habis masa bulan madumu, tiba-tiba kini engkau tidak lagi memiliki waktu. Waktu untuk bergurau dan bercengkrama dengan istri tercinta. Bila sang istri meminta, maka kaupun berkilah betapa lelah dan penatnya hari-harimu disibukkan dengan pekerjaanmu. Rumah hanya menjadi hotel untukmu, datang dan pergi sesuka hatimu. Ketika kepalamu menyentuh bantal engkau mendengkur laksana tiada orang lain di sisimu.
Seakan engkau lupa bahwa sumber teladan kita adalah manusia yang paling sibuk diatas muka bumi pada waktu itu. Beliau memiliki lebih dari 4 orang istri, dan lihatlah dalam sejarah adakah diantara istri- istrinya lepas dari pengawasan beliau? Adakah yang mengeluhkan tentang kesibukan beliau? Beliau shalallahu alaihi wassalam ditimpa berbagai macam persoalan umat dan masalah yang sekiranya diletakkan (dibebankan) kepada banyak orang, niscaya mereka tak akan sanggup mengembannya. Tapi lihatlah ketika sahabat bertanya kepada Aisyah radhiyallahu anha: “Bagaimana sikap Rasulullah bila menemui kalian?” Ia menjawab: “Beliau masuk dengan tertawa dan tersenyum.” Seakan tidak ada beban di pundak beliau yang mulia, seakan beliau tidak memiliki beban dan persoalan yang berat. Sehingga istri-istri beliau merasa nyaman dan senang bercanda dengan beliau. Dalam kitab Bukhari bab Al-Adab, Zaid bin Tsabit berkata tentang Rasulullah : “Suka bercanda dengan istrinya, dihormati diluar rumah.” Tentu berbeda, sebagian para suami sekarang ditemukan mereka suka bercanda dan tertawa dengan teman-temannya akan tetapi cemberut dan bermuka masam terhadap keluarganya di rumah.
Wahai para suami, Rasulullah telah bersabda: “Sesungguhnya istrimu memiliki hak atasmu” (dikeluarkan oleh Muslim 3652, Ahmad 26917, Abu Dawud 2285). Istri adalah wanita yang lemah lembut, menginginkan kasih sayang, cinta kasih, keramahan dan kebajikan. Karena itu hendaklah suami senantiasa bertakwa kepada Allah dalam menghadapi istri dengan memberikan kasih sayang, kelembutan, kesetiaan dalam menjaganya, memberinya nafkah sesuai dengan kemampuan suami, pakaian dan janji setia. Sebagaimana yang dikumandangkan oleh beliau pada haji Akbar(dalam hadits yang sangat panjang) yaitu ketika mengumumkan hak-hak wanita dan hak seluruh manusia, beliau bersabda: “Allah, Allah, pada wanita karena mereka itu adalah tawanan disisi kalian. Dan saling berpesanlah agar berlaku baik terhadap wanita.” (HR. Tirmidzi, hasan shahih)
Adalah Aisyah ketika ditanya tentang perilaku Rasulullah yang paling membekas dan berkesan dikalbunya sepeninggal beliau maka ia hanya mampu meneteskan airmata seraya berkata: “Semua sikap dan perilakunya mengesankan bagiku.” (kaana kullu amrihi ‘ajabani). Bagaimana tidak, Rasulullah seakan selalu punya waktu untuknya. Rasulullah pernah mengajaknya berlomba lari, beliau Shalallahu alaihi wassalam pernah kalah dan pada kesempatan yang lain beliau memenangkannya sehingga beliau tertawa seraya berkata: “Ini adalah pembalasanku dari kekalahanku yang dulu”. Adakah hal ini dicontoh oleh para suami? Tidaklah harus di lapangan atau dijalan raya cukuplah ketika tidak ada orang lain dirumah kita bisa melakukannya.
Justru yang sering kita dengar dan membuat hati ini miris dan berduka, istri yang lari ketakutan karena dikejar-kejar suaminya yang sedang marah, yang dimana jika kita bertanya bagaimana keadaan rumah tangganya, tiba-tiba airmata yang keluar, tampak kesedihan dan kebencian diwajahnya. Yang hadir adalah rasa takut, jengkel, duka dan lara bila mendengar suaminya di sebut. Sebab yang tergambar dalam benaknya adalah masa-masa yang penuh penderitaan, penganiayaan, dan duka nestapa yang dijalaninya bersama suaminya.Tidakkah para suami membaca hadits ini? Dari Abu Hurairah, dia berkata: “Rasulullah bersabda: Orang mukmin yang paling sempurna imannya ialah yang paling baik akhlaknya, dan orang yang paling baik diantara kalian ialah yang paling baik terhadap istrinya” (HR.Tirmidzi, Ibnu Hibban, hadits hasan shahih). Dalam suatu lafazh dari hadits Aisyah di sebutkan: “Yang paling lemah lembut diantara mereka terhadap keluarganya.”(HR. Tirmidzi dan Hakim). Dalam riwayat lain, juga dari Aisyah disebutkan: “Yang paling baik diantara kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya dan aku adalah yang paling baik di antara kalian kepada keluargaku.” (HR. Ibnu Hibban dalam kitab Sahihnya).
Ironis memang, bahkan di negara tempat Islam pertama kali dsdatang (Arab Saudi) ada tiga hal yang seolah-olah sudah menjadi slogan dan senang dilakukan oleh para kaum lelaki: Pertama, senang bergonta-ganti telpon genggam (HP). Kedua, mereka senang bergonta-ganti mobil dan yang ketiga, mereka senang bergonta-ganti istri, waliyyadzubillah. Kepada Allah kita memohon pertolongan, istri bagi mereka disamakan dengan telepon genggam dan mobil. Mereka tidak berusaha mengurus rumah tangga dengan baik.
Kecenderungan mereka adalah bersenang-senang dengan para wanita serta mencari kenikmatan dari setiap wanita, sehingga hal itu menjadikan mereka sering melakukan thalak dan nikah. Padahal Rasulullah telah bersabda: “Aku tidak menyukai laki-laki yang senang mencicipi wanita dan wanita yang senang mencicipi laki-laki” (HR. Thabrani dan Daruquthni). Semoga Allah memberi mereka hidayah dan menunjuki mereka kejalan yang lurus, aamiin.
Hal lain yang sering dilakukan para suami adalah seringnya mereka memukuli para istri ketika mereka sedang emosi atau marah. Mereka beralasan dengan memukul istri maka istri mereka akan takut kepada suami, suami menjadi berwibawa. Padahal bila mereka mau sedikit melirik kepada Rasulullah, beliau adalah manusia yang paling berwibawa akan tetapi tidak pernah ditemukan beliau memukul istri-istrinya, tangan beliau hanya digunakan untuk memukul musuh-musuh Allah. Wahai para suami yang senang memukuli istri takutlah kepada Allah dan camkanlah hadits berikut ini: Dari Muawiyah bin Haidah dia berkata: Aku bertanya, Wahai Rasulullah apa hak istri salah seorang diantara kami atas dirinya? Beliau menjawab: ”Hendaklah engkau memberinya makan jika engkau makan, memberinya pakaian jika engkau mengenakan pakaian, janganlah memukul muka, janganlah engkau berdoa agar Allah memburukannya dan janganlah engkau menghindarinya kecuali di dalam rumah.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Hibban) dan juga sabda beliau: “Berlemah lembutlah terhadap wanita” (HR. Bukhari {no.6018,6059,6066} dan Muslim {no.5989, 5992})
Wahai para suami, setiap rumah tangga tentu mempunyai problema, karena memang demikianlah sebagai ujian dan cobaan bagi hamba-hamba-Nya yang beriman. Sebagai seorang suami dan kepala rumah tangga dituntut untuk pandai dan cermat menyiasati apa yang terjadi diantara hubungan mereka berdua.
Kelapangan hati untuk meredam emosi akan membawa pada kebaikan dan keindahan. Kehalusan sikap akan mencairkan hati yang beku dan melunakkan gunung yang keras. Lihatlah bagaimana Rasulullah dalam menghadapi kemarahan Aisyah, beliau justru tersenyum menghadapi hal itu dengan penuh kesabaran dan keagungan. Atau engkau bisa melihat kepada Umar bin khattab amirul mukminin ketika sahabat datang ingin mengadukan perihal istrinya justru ia mendapati suara istri Umar lebih tinggi dan nyaring dibandingkan dengan suara Umar. Karena Umar adalah seorang yang bijak, maka ia berkata: “Kehidupan itu harus ditempuh dengan cara yang ma’ruf. Ia adalah istriku.Ia membuatkan untukku roti, mencucikan pakaianku dan melayaniku. Jika aku tidak berlemah lembut padanya maka kami tidak akan hidup bersama”. Tidakkah engkau menyimak perkataan Umar?? Semoga Allah meridhainya beliau adalah seorang Amir al-Faruq yang tegas dan berwibawa yang ditakuti musuh-musuhnya, bahkan iblispun takut berpapasan dengannya. Lihatlah bagaimana ia lemah lembut dan mengalah terhadap kemarahan istrinya. Atau sejenak engkau berkaca pada Ali, dalam hadits shahih, rasulullah datang kerumah Fatimah putrinya untuk menanyakan padanya tentang Ali radhiyallahu anhu. Lalu Fatimah radhiyallahu anha menjawab: “Aku telah marah padanya sehingga ia keluar”.(HR. Bukhari no.436 dan Muslim no.6182). Ali memilih keluar daripada bersitegang dan bertengkar dengan istrinya.
Duhai para suami tercinta, engkau berharap istri-istrimu mencintaimu dengan sepenuh hati. Engkau meminta mereka untuk setia dan taat kepadamu. Engkau meminta mereka agar bakti dan kasihnya tercurah padamu. Engkau mendambakan agar mereka merindukanmu ketika jauh darimu. Tapi engkau lupa menyematkan cinta kasih dihati istri-istrimu?? Cukuplah ayat dibawah ini sebagai penutup dan renungan bagi para suami yang mendambakan kebahagiaan dalam rumah tangga mereka di dunia dan akhirat. “Dan pergaulilah mereka dengan cara yang patut kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, maka bersabarlah karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. An-Nisaa:19). Wallahu a’lam bis shawwab.
Sumber: Dari berbagai sumber.

 

Cinta Tidak Menunggu Seseorang Mengatakannya

Alkisah ada seorang pria yang menyimpan perasaan pada teman gadisnya. Hingga kemudian pada saat pernikahannya, ia memutuskan untuk mengatakan perasaan yang sebenarnya pada gadis itu. Namun gadis itu akhirnya hanya menganggap itu hanyalah sebuah canda.
Dan ada seorang pria yang ingin mengatakan pada istrinya betapa ia mencintainya, namun ia tidak pernah mengatakannya, hingga istrinya itu meninggal dunia. Pria itu hingga sekarang terus meletakkan bunga diatas batu nisannya. Dengan ciuman dan kata-kata “AKU CINTA KAMU.” Entah apakah istrinya mengetahui hal itu?
Saat ini ada seorang gadis yang selalu ingin merasakan hangatnya pelukan kasih sayang ayahnya, tapi ia malu untuk mengatakannya. Hingga pada suatu hari ayahnya tak mungkin memeluknya lagi…
Banyak kisah yang terjadi setiap harinya, dan kita mungkin menyadari semua itu. Apa yang telah terjadi kemarin, tak mungkin kembali… tapi apakah kita bisa memastikan apa yang akan terjadi besok?
Pikirkanlah tentang sesuatu yang ingin kita katakan dan janganlah kita selalu menunggu saat yang tepat? Katakanlah cinta dan kasih sayang itu. Jika kau meninggalkan pesta yang ramai dan berjalan bersama, hanya berdua dengan seseorang… itulah cinta.
Ketika kau bersama seseorang, dan kau seringkali mendiamkannya. Tapi ketika ia tak bersamamu dan kau mencarinya… saat itulah kau merasakan cinta.
Jika ada seseorang yang selalu membuatmu tertawa, menatapmu penuh perhatian dan ingin selalu pergi bersamanya. Kau sedang jatuh cinta.
Ketika kau melihat sebuah foto bersama, dan kau mencari seseorang yang special…(untuk mengetahui siapa yang berada disampingya difoto itu) lalu kau membayangkan dirimu yang ada disana… yakinlah kau sedang jatuh cinta.
Ketika kau tidak menerima telepon saat kau sibuk belajar, tapi tak mampu menahan diri saat seseorang menelponmu… saat itulah kau sedang jatuh cinta.
Jika kau lebih tertarik menerima sebuah surat pendek dari seseorang daripada surat-surat lain yang panjang… kau sedang jatuh cinta.
Ketika kau mendapat tiket gratis untuk berdua, dan kau tak ragu-ragu mengajak seseorang, kau sedang jatuh cinta.
Kau terus mengatakan kami hanyalah teman biasa, tapi kau sadar kau tak bisa melepaskan diri darinya… saat itulah kau merasakan cinta.
Cinta bukanlah sesuatu yang buruk dan semua bergantung pada kita bagaimana menginginkannya. Berbagilah, dan katakanlah kepada orang-orang yang berarti bagimu….

SUMBER : http://catatansikecil.blogdetik.com/2012/04/13/menyemat-cinta-di-hati-kekasih-renungan-buat-para-suami/
http://krenungan.org/wordpress/2006/06/?p=328

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...